Senin, 10 Agustus 2009

Dia yang Terasing di Negeri Sendiri

 



Ruangan tertata rapi hingga tiap lekuknya yang tak berhiaskan debu. Vas bunga berdiri di pojok ruangan memberikan kesan indah untuk setiap mata yang memandang. Sepuluh langkah ke dalam, terdengar percakapan kecil antara gadis belia dengan wanita paruh baya. “Suasana seperti ini tak asing lagi untukku, aku terbiasa dengan suara mesin yang meraung-raung di depan teras rumah. Setiap pagi pandangan mataku terhalang asap kendaraan yang melintas di depanku. Lucunya libur tiga pekan nanti aku akan suguhi semua itu, apalagi hanya seorang diri aku menikmatinya,” ungkap seorang gadis saat mendengar bisingnya suara kendaraan yang mondar-mandir di jalan depan rumah. Wanita di sisi gadis ini menjawab, “Mungkin kali ini tak adil untukmu.” “Sepertinya tak hanya kali ini, tahun lalu pun aku mangalami demikian,” gadis itu menyanggah. “Sejujurnya sering aku berandai-andai, pergi menemui Kakek, dan menghabiskan masa liburku di Madura. Emm... Apa ingat cerita tentang pulau di seberang kampung Kakek? Aku tertarik untuk ke sana.” ” Apa bisa membuatmu senang? Untuk ke Madura Mama setuju, tapi untuk ke pulau seberang, itu urusan kakekmu,” jawabnya. “Memang cukup aku dan Kakek,” tangguh gadis ini. Orang tua mana yang bisa melihat anaknya selalu merasa sendiri, meski mereka mengira telah memberikan yang terbaik. 
Seminggu sejak saat itu, mereka berangkat ke Madura, tempat Kakek dan Nenek tinggal. Begitu sampai di sana, Kakek langsung menyambutnya. “Kek, aku ingin seberapa jauh keseriusan Kakek tentang pulau itu!” sambut Mala dengan nada penasaran. “Besok pagi kita berangkat, biar ibumu yang tinggal bersama Nenek di sini, tak disangka kamu sudah sedewasa ini, tapi Kakek yakin kamu akan belajar banyak di sana,” seru Kakek. Semalaman keluarga yang jarang jumpa ini melepas rindu hingga larut malam tanpa disadari, banyak hal yang mereka bicarakan, apalagi Kakek sebagai gudang cerita, banyak cerita menarik lahir darinya.
Sebelum matahari begitu terik menyengat kulit, Mala bersama kakeknya segera menyeberang dari ujung timur Pulau Madura. Dari ujung pulau ini memang terlihat jelas sebuah pulau kecil yang saat ini ada di benak gadis yang baru saja masuk universitas ini dan sebenarnya masih ada pulau kecil lain yang tak berpenghuni disekitarnya. Akhirnya ia bebas setidaknya untuk satu bulan ini. Tempat pertama yang harus mereka tuju adalah rumah teman seperjuangan Kakek, mereka adalah tuan rumah yang murah hati. 
Setelah beberapa jam di kapal penumpang yang tak selalu hilir mudik antarpulau, mereka menginjakkan kaki di Pulau Kangean yang sungguh luar biasa. Berkali-kali Mala putar kepala sana-sini melihat pemandangan yang sangat memanjakan mata. Baru kali ini ia melihat hal yang begitu menakjubkan hingga membuat hatinya bergetar. Setelah menyeberang laut hingga sampai di daratan Kangean mereka masih ada perjalanan menuju kampung yang ada di ujung pulau. Sesampainya di rumah tempat mereka singgah untuk setiap satu pekan ke depan, mereka mendapat sambutan hangat dan langsung dipersilakan ke kamar baru mereka di sini. Mereka sama sekali tak membatasi kegiatan mereka di rumah ini. Bahkan untuk beberapa hari awal pekan ini teman Kakek membawa Mala ke beberapa tempat di sekitar kampung. Ada satu tempat yang selalu ingin Mala kunjungi, pantai pasir putih di kampung ini. Ombaknya begitu tenang, anginnya berhembus menerpa rambutnya yang panjang, belum lagi bebatuan besar yang ada di sepanjang muka pantai. Pertama kali datang ke pantai ini, wajah kagum Mala tak henti-hentinya menatap semua yang ada, air yang jernih dengan deburan ombak yang lemah, pasir putih yang saat ini ia pijak, hamparan pasir yang bersih dari ribuan tapak kaki, dan juga biota laut yang berkuasa di pantai ini. Seperti surga dunia baginya. Ia merasa pantai ini hanya miliknya, tak ada seorang pun selain ia yang berlari-lari beriramakan alunan ombak. Ia sangat menikmati hari-hari yang ia jalani. Banyak aktivitas penduduk yang ia amati, mereka begitu gigih dalam bekerja, sesekali ia juga ikut mencoba pekerjaan yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Kesibukan anak-anak disini selain membantu ayah dan ibunya, mereka bermain-main dengan asyiknya. Kehidupan di kampung tepi pantai ini memang damai, rukun dan penuh dengan semangat orang-orang kampung. 

***

Duduk termenung pada sebuah batu di pinggir sungai, Nuel, pemuda berkulit gelap yang tinggal di kampung ini. Ia melamun setelah lelah mencari kepiting di bawah bongkahan batu sungai yang airnya mengalir deras. Hanya menggunakan alat seadanya yang ia buat dari batang lidi untuk menjerat capitnya. Lamunan Nuel harus disudahi, ia harus buru-buru pulang untuk membantu ayahnya, petani rumput laut. Sesampainya di rumah atau lebih tepatnya disebut pondok bambu, tak ada yang harus dikerjakan olehnya, semua yang harus iakerjakan telah selesai oleh tangan tua ayahnya. Sore itu ada waktu untuk ia sekedar melepas jenuh di pantai tempat ia biasa nongkrong. Pantai ini berbeda dengan pantai yang biasa digunakan untuk menanam rumput laut, hal ini memang sengaja dilakukan penduduk kampung, mereka tak mencampuradukkan keindahan dan kebutuhan. Di tengah-tengah gunung-gunung pasir tertulis juga dengan jelas DILARANG MENAMBANG PASIR. Tak ada niat untuk melakukan sesuatu hal pun sebenarnya. Namun hatinya berkata-kata dan tak bisa ia bendung lagi. Seuntaian kata ingin ia tuangkan melalui guratan pena tuanya. Dalam bahasa Indonesia ia tuliskan kata hatinya pada secarik kain. Begini-begini hasil sekolahnya selama 4 tahun di SMP juga ada manfaatnya, entah karena hobi atau hanya mengikuti perintah hati, ia sering menuliskan puisi di pantai ini. Ia tak memedulikan aturan main dalam membuat puisi, tak peduli dengan tiap kata yang ia gunakan, hanya terangkai begitu saja. Sekarang kain itu telah berisi ungkapan hatinya, ia ingin ombak laut yang tenang ini membawanya pergi. Ia tak menujukan puisi yang ia buat pada apa pun dan siapa pun, membiarkan alunan ombak membawanya ke tempat yang tak pernah ia tahu. Ia memasukkan kain itu pada sebutir kelapa kering, ia buang jauh-jauh kelapa itu ke hamparan laut di depan matanya. 
Dibandingkan dengan kampung lain di Kangean, kampung Nuel termasuk pemukiman yang jarang penduduk, taj ada tetangga yang berhimpitan rumah. Di kampung yang terbentuk oleh berapa puluh keluarga, dimana beberapa orang menjadi petani rumput laut yang lumayan berskala besar. Diantaranya adalah ayah Nuel sendiri, bertani rumput laut dengan petani lain di wilayah laut yang sama juga membutuhkan batas kawasan tanam. Mereka tahu dengan wilayah tanamnya meskipun tak ada tanda yang mereka pergunakan sebagai batas. Mereka menggunakan perahu kayu untuk menanam atau pun memanen rumput laut. Mereka tahu benar dimana tempat yang cocok agar hasil panen mereka melimpah, di tempat yang tak terlalu dangkal dan terkena sinar matahari yang cukup. 
Nuel memang hanya pemuda yang tak tahu dunia di luar pulau ini. Nuel hanya menyelesaikan sekolahnya hingga di bangku SMP meskipun menghabiskan waktu selama empat tahun. Ia tak gundah sedikitpun akan kegagalannya naik kelas tiga waktu itu, tak apa ia mengulanginya sekali lgi karena teman-temannya pun begitu. Lagipula Nuel merasa meski ia sekolah atau tidak juga sama saja. Ia hanya anak dari seorang petani rumput laut. Kalalupun ada kemauan melanjutkan sekolahnya, mau kemana ia mendapatkan sekolah lagi, menyeberang laut tak mungkin baginya. Sebetulnya ia iri sekali melihat Ado teman sekelasnya dulu, sekarang ia sedang melihat dunia luar. Ado mendapatkan beasiswa dari prestasinya untuk melanjutkan SMA di Madura, itu pun karena ada orang yang mau memperjuangkannya dan tak mau kepandaian anak ini sia-sia. Kalau tidak ada orang yang mau berjuang seperti itu mana ada pemuda di kampung pantai ini ada yang berhasil, pasti jamuran seperti Nuel ini. Entah sedang apa ia di sana, ia jarang pulang ke kampung, mungkin karena hidup di sana terlalu sayang untuk ditinggalkan.
Andai dulu Nuel diberi kesempatan, jadi apa dia sekarang ini. Sebagai anak pantai, ia jagonya renang dari yang jago renang, ia ingin jadi atlet profesional. Ayahnya yang bersikeras mematahkan impian anaknya ini. Selalu berkata, “Kau ini tak perlu bermimpi terlalu tinggi, lulus SMP dalam tiga tahun saja susah. Bantu saja ayahmu ini bertani rumput laut. Bertani rumput laut tak perlu sekolah tinggi-tinggi. Kau tahu sendiri tetangga kampung kita, Sunu, dia itu atlet lari yang katanya sampai ke negeri seberang, tapi apa, tiap hari dia cuma sibuk bersihkan medali yang dia dapat sampai kainnya lusuh, apa di bisa kasih anaknya susu? Orang berpangkat tak ada yang peduli dengan orang kecil meski dia pernah bawa nama negara ke mata dunia, mereka cuma peduli sama perut mereka sendiri.” Semenjak itu apa lagi yang mau ia lakukan untuk hidupnya. Memang benar, mana ada orang tua yang bisa melihat anaknya terpuruk, meski mereka mengira telah memberikan yang terbaik. Yang membedakan adalah cara berpikir mereka dalam memkanai hidup yang mereka jalani dan apa yang mereka lakukan demi sebuah keberhasilan anaknya, meski tak mengerti betapa besar penderitaan batin yang harus dialami. Nuel harus menerima nasibnya yang terlalu dipaksakan ini meski ia semakin membuat dirinya jauh dari harapan, tak ada semangat yang kembali berkobar. Ia selalu menutupi kesedihan dan kekesalannya di mata orang lain dengan sikapnya yang dingin dan terlepas dari senyum.

***
Kakek tak membiarkan Mala hanya berlibur semata, ia memberi kesibukan pada cucunya untuk belajar dari tempat ini. Kakeknya tahu kekaguman Mala pada keadaan alam dan keindahan pulau ini yang bagai nirwana, tapi Kakek tak hanya ingin Mala tahu sekitar itu saja, Kakek ingin ia tahu bagimana ia bisa menjaga ciptaan Tuhan yang diberikan pada manusia. Di kampung ini memang banyak kegiatan yang memanfaatkan alam tapi mereka juga memberi keseimbangan pada alam yang memberi kehidupan pada mereka. Mala sering diajak untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang menjaga alam. Ia sangat menikmatinya dan memang ini yang membuatnya tertarik. sejak awal. 
Suatu pagi sebelum ia kembali ke Madura untuk melihat keadaan rumah yang mana neneknya sekarang sering sakit-sakitan, ia menyempatkan pergi ke pantai. Ia hirup dalam-dalam nafasnya, menapakkan kaki di atas pasir putih yang lembut, dan membiarkan sinar pagi menerpa tubuhnya. Dalam gulungan ombak yang kecil, sebutir kelapa menghampirinya. Diambilnya kelapa itu untuk ia lempar kembali ke tengah laut. Dengan tenaganya yang tak sesemangat penduduk pulau ini, ia lemparkan kelapa kering itu. Tak lama kemudian, ombak laut mendorongnya kembali ke depan mata kaki Mala. Hatinya berkata untuk tak melemparnya kembali. Ia memutuskan untuk mengambilnya dan ternyata ia menemukan sesuatu di dalamnya. Tiba-tiba Kakek menyuruhnya kembali ke pondok, ia membawa serta isi dari kelapa kering yang ditemukannya itu.

***

Akhir pekan Mala kembali ke Madura, dan benar neneknya terlihat batuk-batuk, tapi tak ada yang perlu dikhawatirkan menurut Mama. Kakek memberinya ramuan tradisional yang biasa nenek minum. Mama antusias dengan kisah Mala di pulau itu. Mala dengan nada menggiurkan bercerita tentang semua kegiatannya yang sangat berharga itu. Hal ini bisa jadi topik untuk teman-temannya di kampus nanti sekedar berbagi pengalaman, itu sudah terpikir dalam otaknya.
Saat ia putuskan untuk tidur, ia teringat dengan kain yang ia bawa dari pantai. Kain ini bertuliskan serangkaian puisi. Ia membacanya dengan serius dan memahami makna dari tiap kata yang tertulis. Dalam sebuah bait dari puisi ini, penulis berkata sedikit lugas.

. . .
Tahukah mereka tentang diriku?
Aku yang memandang lekat sebutir embun yang nyaris jatuh membasahi tanah
Mengujung pada hijaunya pucuk daun
Aku yang terpaku di sini tiada daya
Pedulikah mereka?
. . .

Apa yang penulis maksudkan dalam puisi ini membuat Mala bingung. Makna dan pesan dari puisi ini juga masih tak terbayangkan dalam kepala Mala. Mengapa ia bisa temukan puisi itu di sebuah kampung pantai di Kangean, apa ada wisatawan yang datang ke Kangean atau puisi itu terbawa air laut hingga terdampar di Kangean, sebaiknya aku apakan puisi ini, ia bertanya-tanya dalam hati. Ia memikirkan puisi itu hingga tertidur sampai menjelang terbitnya matahari.
Dengan segera Mama membangunkan Mala yang masih pulas. Sebagai perempuan, Mala termasuk liar saat tidur, posisi kaki dengan kepala bisa tertukar begitu saja, bantal yang tadinya ia pakai bisa meluncur dari tempat tidurnya.
Baru satu minggu disini, Mama harus kembali dengan pekerjaannya, ada client baru di Bandung. “Aku masih mau tinggal di sini untuk tiga minggu ke depan, kalau Mama tak sempat menjemputku, biar Kakek yang mengantarku,” Mala keberatan untuk pulang.

***

Penduduk kampung pantai mulai mengenal Mala yang sudah sepekan tinggal di sini dan senang berbaur dengan mereka. Bagi yang tidak mengenalnya paling tidak mereka tahu tentang keberadaannya di sini. Lalu Nuel, ia baru tahu ada gadis baru di kampungnya kemarin sore karena tak sengaja mendengar pembicaraan orang kampung, ia juga belum tahu seperti apa gadis itu. Nuel memang orang yang sedikit tidak peduli keadaan, ya begitulah adanya. Saat ia ingin tahu dan mencari-cari sosok gadis itu, ia justru tak menemukannya, itu karena Mala ada di Madura.
Hari ini saatnya memanen rumput laut, Nuel pun disibukkan karenanya. Baru beberapa waktu saja perahu kecilnya sudah penuh oleh rumput laut. Meskipun melelahkan, tapi inilah yang menjadi harapan mereka selama ini, ingin selalu diberi hasil panen yang melimpah. Saat mengusap peluhnya, mata Nuel melihat sesuatu di pantai, seperti menemukan sesuatu. “Jadi gadis itu!” kata Nuel dalam hati.
Mala yang baru saja kembali tak menyangka ia datang pada waktunya panen, senang sekali rasanya meski kali ini tak bersama Kakek. Ia perhatikan petani-petani yang memanennya, dan akhirnya matanya tertuju pada Nuel, sepertinya ia tahu orang ini. Ya benar, ia anak kesayangannya Pak Datum, tapi ia belum mengenalnya.
Ada hal lain yang terpikir oleh Mala, karena ia sering keliling kampung, tentu ia tahu dimana kantor pegawai di kampung ini. Dari kemarin hingga saat ia kembali lagi, ia sama sekali tak menemui pegawai yang bekerja di kantor itu, kemana mereka selama itu. Benar-benar lumpuh tak ada aktivitas. Jadi seperti ini kerja mereka, kantornya sampai penuh debu, mungkin mereka hanya datang seminggu sekali dan di awal bulan karena pada hari itu gaji mereka turun. 
Setelah sore tiba, Mala pergi ke pantai favoritnya, dimana semua unsur pembentuknya maerupakan lukisan tangan Tuhan hingga tersusun menjadi sebuah pantai yang menakjubkan dan tak ada tangan manusia yang mencoba mengubahnya, semuanya dibiarkan alam menata dengan sendirinya.
Nuel yang datang lebih dulu di sana, memandang Mala dengan penuh heran, seakan bertanya apa yang sedang kamu lakukan di tempatku ini. Akan tetapi Mala menyapanya dengan senyum seperti meminta ijin darinya. Mala sungguh terkesima pada seorang Nuel sejak pertama melihatnya entah karena apa, padahal ia sama sekali tak tahu tentang pribadi Nuel.
“Ini tempat yang sangat luar biasa yang pernah aku temui,” ungkap ceria Mala di awal pertemuan. Tak disangka Nuel meninggalkannya begitu saja tanpa sepatah kata. Nuel bukan tak suka pada Mala yang sok kenal dengannya, tapi itulah dirinya yang masih berteka-teki dengan kehidupannya. Sulit baginya mengenal orang yang baru hadir di kehidupannya, seakan tak memedulikan apa pun tapi sungguh tak ingin ia lakukan sebenarnya.
Di pantai tadi Nuel sempat menggambarkan apa yang terlihat jelas di pikirannya sejak kemarin. Bayangan itu nyata sekali baginya. Pada sebuah pohon yang telah lapuk tergambar secara abstrak seorang pria yang menanti dan membawa sesuatu di tangannya dalam sebuah ketegangan.
Mala tak tersinggung pada kelakuan Nuel, ia memilih berjalan sepanjang pantai dan menghabiskan sore bersepeda mengitari kampung. Nyaris tak ada pembangunan yang terlihat. Jalan terkapar tanpa diselimuti bahan aspal, sebagai jalur trasportasi yang seharunya dimudahkan dengan keadaan jalan yang bagus. Bagaimana prasarana bisa masuk ke kampung jika keadaan seperti ini, tapi hebatnya penduduk kampung tak bergantung pada dunia di luar kampung pantai ini, mereka hidup dengan usaha dan keringat mereka sendiri. Yang membuat Mala betah selain nirwana pasir putih itu juga teman Kakek dan penduduk kampung yang selalu ramah padanya.
Malam yang hening, hati Mala berbisik. “Aku tak terlahir di Kangean, tapi aku beruntung, aku menikmati apa yang disuguhkan pulau ini, keindahan yang tiada hentinya. Aku tak mau Kangean terutama kampung pantai yang tak tersentuh pembangunan ini termakan dunia luar. Andai orang-orang tahu tentang ini semua, mereka pasti akan berbondong-bondong kemari. Kekerasan hidup, narkoba, polusi, dan gelapnya dunia yang bisa memberantas keindahan ini pun akan turut serta. Akankah mereka bertahan dengan semua itu. Tapi pantaskah mereka hidup seperti ini?”
“Saat aku mulai memasuki Kangean, aku menemui sejumlah bendera yang berdiri tegak di halaman sekolah atau di depan rumah, tapi di ujung Kangean, di kampung ini aku tak menemukan kibaran bendera seperti yang kutemukan jauh sebelum masuk kampung ini. Dekat-dekat ini perayaan Hari Kemerdekaan ke-53 tapi apa yang terjadi di kampung ini, kenapa tak ada sedikit pun persiapan? Atau mereka terbiasa menyambut hari itu langsung pada 17 Agustus nanti? Ya, mungkin begitu.” Itulah seruan hati Mala yang menderu saat duduk di pojok kamarnya.
Mala ingin mengenal Nuel seperti ia mengenal penduduk kampung yang sering memberinya nilai kehidupan. Tak hanya sekali sapa untuk mengenal Nuel, tak hanya sekali harus diacuhkan oleh tampangnya yang menunjukkan lukisan wajah yang sulit ditebak. Mereka sering berjumpa di nirwana pasir putih, di bibir pantai itu sorotan mata mereka mulai menanyakan sesuatu. Hingga waktu terasa semakin berlari melawan arah, setidaknya mereka memulainya dengan percakapan singkat, saling meninggikan gengsi dan sampai akhirnya mereka diperkenalkan lebih jauh oleh pantai yang selalu mereka datangi. Mendapatkan teman baru dengan usaha yang keras akan memberi kesan yang dalam, juga keterikatan yang kuat dalam sebuah pertemanan. Orang pertama yang melihat tawa kecil Nuel tak lain adalah Mala.

***

Pagi yang cerah menyambut hari yang ceria. Mala membuka jendela kamarnya, memandang jauh keluar, menghirup sejuknya udara pagi dalam setiap nafasnya, melihat jatuhnya embun dari pucuk daun. 
Mala mengajak sahabat barunya, “Pagi Nuel, maukah mengantarku ke tempat sarapan pagi yang enak?” “Ikut aku,” tangkas Nuel. “Di tempat seperti ini ada sarapan pagi, yang benar saja,” tegur Mala. “Sungai ini tak hanya menyediakan sarapan yang enak tapi juga tempat yang nyaman, coba saja ini, kepiting ini akan membuatmu menarik kata-kata tadi,” sambung Nuel. Mereka membakar kepiting di tepi sungai sambil menikmati air terjun yang di belakangnya terdapat sebuah gua. “Kenapa kemarin tak ada perayaan Hari Kemerdekaan di kampung ini? Padahal aku ingin tahu seperti apa perayaan di sini,” tanya Mala dengan serius. Nuel menjawab dengan nada yang sedikit kesal, “Sepertinya tak perlu kujawab, cukup kamu lihat saja keadaannya. Aku harus kembali, pasti semua menungguku untuk menanam rumput laut.” Mala berusaha menahan Nuel, “Aku tak bermaksud...” Nuel pergi sebelum Mala selesai bicara.
Malam harinya, Nuel mengunjungi Mala yang sedang asyik melihat warga kampung mengayam rotan. Pekan ini Mala tak kembali ke Madura. Nuel bermaksud minta maaf, “Pagi itu aku tak bermaksud kasar terhadapmu, aku hanya tak bisa menahan kata-kataku.” Mala mengerti sikap Nuel, “Tak perlu dipersoalkan. Kamu tahu? Dulu aku menemukan kain ini di pantai indah itu, di sini tertulis seuntai puisi yang membuatku kagum pada penulisnya, sayang aku tak tahu orangnya. Pasti dia setulus hati menuliskannya.” Nuel tak mengira puisi yang ia buat jatuh ke tangan Mala, ia juga tak habis pikir jika ombak laut tak membawanya pergi jauh. Akan tetapi, Nuel tak membahasnya, ia justru membicarakan hal lain. “Pulauku memang terletak di tengah Indonesia, bukan di garis perbatasan yang sulit untuk dijangkau dan sering diabaikan, tapi siapa peduli, ini hanya sebuah pulau kecil yang tak terlihat. Mata mereka tak cukup jeli untuk melihat keberadaan pulau ini. Akan tetapi, meski tanpa hukum yang berlaku di pulauku ini, kehidupan kami selalu dan akan damai, kami bisa mengurus hidup kami yang tak rumit ini. Selama ini aku berpikir dan membayangkan kehidupan di luar sana, apa yang mereka semua lakukan, aku tak mengerti. Aku ingin tanyakan satu hal. Aku hidup di negeri ini, di negeri dimana kamu tinggal. Mata uang yang kugunakan memang rupiah, bendera yang kukibarkan waktu SMP dulu memang merah putih, di sekolah guruku juga menggunakan bahasa Indonesia. Berbicara denganmu selalu kugunakan bahasa Indonesia. Tapi haruskah aku berbeda denganmu?”
Mala kehabisan kata untuk keterangan yang muncul dari mulut Nuel. Tak pernah hal ini terjadi pada Mala. Nuel tak memaksa Mala, ia hanya bercerita apa yang ia rasakan, apa yang ia pendam, ia pun memutuskan untuk pulang karena malam semakin larut. Mala tak tidur selelap biasanya.
Saat pagi menambut, dengan penuh semangat Nuel pergi menjemput Mala dan ingin mengajaknya ke pantai dimana mereka menemukan suatu hal yang tak pernah orang lain temukan. Melihat jendela kamar Mala telah terbuka, ia berlari kencang, ia kerahkan seluruh tenaganya, ia yakin Mala menunggunya di pantai, ia tak menyangka sepagi ini ia pergi, biasanya selalu Nuel yang mengganggu tidurnya. 
Dua hari lagi Mala harus sudah di Bandung untuk persiapan setelah libur panjang. Sore ini ia harus kembali ke Madura, ia mengemasi barang-barangnya. Ia harus meninggalkan pulau sejuta kenangan ini. Tak lupa ia pergi ke pantai untuk yang terakhir dari ke sekian kalinya ia bertatap muka dengan pantai itu. Pasir putih manyapanya dan mengucapkan selamat jalan padanya. Daun kelapa menjulur panjang dan melambai terkena desiran angin pantai. Ia tunggu Nuel si anak pantai yang serba misterius, anak pantai yang membuatnya bersusah payah. Ia menulis pesan di hamparan pasir, ternyata mengatakan sesuatu pada sebuah makhluk Tuhan yang selalu dianggap tak hidup ini menjadikannya lebih berarti meskipun tak ada yang menyaksikan. Ia jauhkan tulisannya dari ombak yang akan menghapusnya.
Tak ada seorang pun, pantai semakin sunyi, ombak mengalun kencang ke bibir pantai, tak ada kepiting yang berkejaran, dan angin pun bertiuo kencang. Nafas Nuel terengah-engah membuat lubang hidungnya terbuka lebar. Kucuran keringat yang ia keluarkan membasahi baju terbaik yang ia pakai setengah jam lalu. Matanya yang berkilau tajam, kini seperti pecahan kaca. Hatinya yang dingin tak tahu kagi berkata apa. Jantungnya berdetak kencang dan semakin kencang karena aktifitas tubuhnya dan juga kegundahan hatinya, Hanya ada goresan pasir yan terangkai dalam sebuah kalimat yang sedikit terinjak oleh kakinya yang masih gemetar. Sekujur tubuhnya lemas memandang pantai yang seakan mengucapkan sesuatu kepadanya. Sinar matahari perlahan mendatanginya yang tak kuat lagi mendirikan badannya, lututnya tertekuk dan bersujud ke hadapan sinar yang menyilaukan matanya. Saat ini Nuel bukan seorang pemuda kampung yang penuh juang dan semangat.
Ternyata Nuel melukiskan dirinya sendiri pada pohon lapuk itu. Ia yang berdiri seorang diri mencari dan menunggu datangnya gadis penjajah pantainya, ia yang berdiri memegang sebuah gulungan kertas bertuliskan puisi yang ia buat semalam, ia yang tak sempat mengatakan dirinyalah penulis puisi itu, ia yang belum mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.
Mala benar-benar meninggalkan kampung Nuel. Ia akan berlabuh menuju Madura. Dalam hati ia berkata, “Kangean memang hanya sebuah pulau kecil, hanya beberapa peta saja yang memuat pulau ini dalam daftar pulau di Indonesia. Di sebagian peta, pulau ini lenyap begitu saja seperti ditelan laut, tak ada gambar dan tulisan ’P. Kangean’ pun tak tertera. Siapa yang tahu ada pulau yang terhampar indah di tengah lautan Indonesia dan siapa yang peduli? Pulau ini nyata dan berpenghuni, warga negara Indonesia hidup didalamnya dengan bebagai aktivitas. Siapa yang menduga pulau ini memendam kekayaan alam maupun budaya yang begitu dalam. Nuel... Sejujurnya aku pun tak mengerti mengapa kamu harus terasing di negerimu sendiri. Mungkin aku akan kembali dan mungkin aku tak kan kembali.”




Rabu, 18 Februari 2009

Biografi Iwan Fals

Menyanyi dengan Suara Hati

Virgiawan Lisitanto, itulah nama lengkapnya, yang kini terpopulerkan dengan nama Iwan Fals. Kemilau namanya membumbung tinggi dengan menyuarakan seruan hati kelompok marginal dan kritik sosial dengan kesederhanaan lirik yang ia bawakan. Ia meraih puncak karir benar-benar merangkak dari bawah, itulah yang justru membuatnya bisa seperti sekarang. Berkiprah selama 20 tahun dalam dunia musik tak selalu mulus bagi Bang Iwan. Nama besar yang disandangnya saat ini dicapai setelah melalui jalan penuh kerikil dan berdebu dan di bawah derasnya hujan dan terik matahari. Lantunan suara khasnya yang menjelma menjadi api semangat bagi saudaranya dan penggebrak akan kondisi sosial politik tanah air telah berkolaborasi dengan pemusik-pemusik berbakat lainnya. Lagu-lagu yang telah banyak ia ciptakan dengan musik yang berjenis balada sejak mulai berkarier mengandung pesan-pesan humanis yang mendalam dalam setiap lirik lagunya. Humanisme yang tercipta dalam lirik lagu Bang Iwan tak lahir dari tulisan tangan yang hampa. Lirik-liriknya lahir dari hasil pemotertan kehidupan dan pergulatan batin yang dahsyat tentang ketimpangan sosial negeri ini di akhir tahun 1970-an hingga sekarang, dengan penggunaan kata-kata yang lugas dan sederhana. Bang Iwan mampu melihat sisi manusiawi dari suatu profesi yang oleh kebanyakan orang dianggap sampah. Pandangan yang humanis ini tentu tak akan ditemukan dalam diri orang yang tak punya kesadaran sosial dan spiritual yang mendalam. Inilah Sang Legenda Hidup yang sebenarnya.

Tokoh yang berkharisma tinggi ini telah merasakan pahit manis kehidupan di dunia ini. Iwan Fals adalah keturunan Arab. Ibunda tercintanya, Lies Haryoso, adalah seorang perempuan keturunan Arab dari marga Abdat. Ia menghabiskan masa kecilnya di Bandung sebelum ikut dengan saudaranya ke Jeddah, Arab Saudi. Kelihaian Iwan dalam bermusik semakin terasah ketika berusia 13 tahun. Pada waktu itu, pria berdarah Arab, melatih kemampuannya bermain gitar dengan mengamen. Ketika itu juga, ia menjadi gitaris dalam paduan suara sekolahnya, SMP Negeri 5 Bandung. Sejak kecil Bang Iwan sudah berjiwa sosial dan sangat perhatian dengan teman-temannya, meski pernah sesekali memutuskan senar gitar yang ia pinjam dari temannya. Karena ingin tampil berbeda dan menarik perhatian teman-temannya, Iwan mencoba mengarang lagu sendiri yang liriknya kucu, bercanda, bahkan mengutak-atik lagu orang. Ulahnya ini membuat teman-temannya tertawa terpingkal-pingkal.

Suatu hari saat ia bergelut dengan pendidikan di SMAK BPK Bandung, datang ajakan untuk mengadu nasib di Jakarta dari seorang produser. Ia pun rela menjual sepeda motornya demi rekaman album pertama bersama teman-temannya yang tergabung dalam ‘Amburadul’. Akan tetapi, album tersebut gagal di pasaran dan memaksa Iwan kembali menjalani profesinya dulu sebagai pengamen.

Peluang itu kembali hadir untuk pria kelahiran Jakarta, 3 September 1961 setelah menjuarai festival musik country dan mengikuti festival lagu humor. Lagu-lagu humornya yang kemudian diproduksi oleh ABC Records mengalami hal yang sama dan hanya dikonsumsi oleh kalangna tertentu saja. Sampai akhirnya, keberhasilan Iwan dimulai saat bekerja sama dengan Musica Studio, meski ia telah masuk dapur rekaman untuk 4-5 album.

Pernah menjadi pengamen jalanan, bukan berarti Iwan berasal dari keluarga yang pas-pasan. Iwan lebih senang hidup dengan kesedarhanaan dan apa adanya daripada diliputi kemewahan. Ayahnya, Haryoso, adalah seorangperwira TNI, tentunya beliau ingin anaknya memegang kunci kesuksesan dengan menguliahkannya di Sekolah Tinggi Publisistik Jakarta sebelum pindah ke Institut Kesenian Jakarta. Sebagai mahasiswa publisistik, Iwan pernah bekerja sebagai wartawan di sebuah tabloid olahraga, bahkan menjadi kolumnis olahraga.

Ternyata album ‘Sarjana Muda’ banyak diminati dan Iwan mulai mendapat tawaran bernyanyi. Ia pun sempat masuk televisi setelah tahun 1987. Perjalanan kariernya semakin mengudara dengan mengeluarkan hits ‘Bento’ dan ‘Bongkar’ yang sangat fenomenal sampai saat ini.

Mengakhiri masa lajangnya sebagai seorang pemuda dari sembilan bersaudara dan empat meninggal dunia, Bang Iwan meminang Rossana. Buah hati dari pernikahan mereka adalah Galang Rambu Anarki (alm), Annisa Cikal Rambu Basae, dan Rayya Rambu Robbani. Kepergian anak pertamanya, Galang Rambu Anarki (alm), April 1997, seorang gitaris yang sempat meluncurkan album perdananya di usia 15 tahun, membuat Bang Iwan semakin yakin akan posisinya sebagai seorang ayah yang harus menjaga, mendidik, dan menyayangi anak-anaknya. Rasa cinta kepada kedua anaknya adalah pengobar semangat di usianya yang kini sudah berkepala empat.

Sampai sekarang ini, berpuluh-puluh album yang telah Bang Iwan ciptakan dapat dinikmati oleh para pecinta musik di penjuru tanah air. Album-album yang telah diluncurkan mulai dari awal kariernya hingga sekarang ini adalah sebagai berikut.

Ø Canda Dalam Nada (1979).

Ø Canda Dalam Ronda (1979).

Ø Perjalanan (1979).

Ø 3 Bulan (1980).

Ø Sarjana Muda (1981).

Ø Opini (1982).

Ø Sumbang (1983).

Ø Barang Antik (1984).

Ø Sugali (1984).

Ø KPJ (Kelompok Penyanyi Jalanan) (1985).

Ø Sore Tugu Pancoran (1985).

Ø Aku Sayang Kamu (1986).

Ø Ethiopia (1986).

Ø Lancar 1987 (1987).

Ø Wakil Rakyat (1988).

Ø 1910 (1988).

Ø Antara Aku, Kau Dan Bekas Pacarmu (1988).

Ø Mata Dewa (1989).

Ø Swami I (1989).

Ø Kantata Takwa (1990).

Ø Cikal (1991).

Ø Swami II (1991).

Ø Belum Ada Judul (1992).

Ø Hijau (1992).

Ø Dalbo (1993).

Ø Anak Wayang (1994).

Ø Orang Gila (1994).

Ø Lagu Pemanjat (bersama Trahlor) (1996).

Ø Kantata Samsara (1998).

Ø Best Of The Best (2000).

Ø Suara Hati (2002).

Ø In Collaboration with (2003).

Ø Manusia Setengah Dewa (2004).

Ø Iwan Fals in Love (2005).

Ø 50:50 (2007).

Tak hanya berekspresi dal am pergulatan musik Indonesia, Bang Iwan yang sering meluangkan waktunya untuk bermain sepak bola dan karate, juga telah membintangi beberapa film Indonesia seperti Damai Kami Sepanjang Hari (1985), Kantata Takwa(1990), dan Kekasih (2008).

Di masa Orde Baru, lagu-lagu Bang Iwan sempat dicekal dan ia dilarang untuk melakukan aksi panggungnya di beberapa daerah. Pada tahun 1984, ia mendapat masalah karena lagunya yang berjudul ‘Mbak Tini’. Lagu ini berkisah tentang Mbak Tini, seorang pelacur yang membuka warung kopi di pinggir jalan dan mempunyai suami bernama Soeharto, seorang supir truk. Oleh pihak yang berwenang waktu itu, lagu itu dianggap menghina Presiden RI, Soeharto. Akibatnya, Bang Iwan terancam masuk penjara. Padahal, menurutnya, lagu tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan Soeharto dan istrinya, Tien Soeharto.

Terlahir dari keluarga besar yang taat beragama, sejak kecil Bang Iwan sering diajak ibunya mengikuti berbagai kegiatan sosial. Kini, ibu Bang Iwan masih aktif mengurusi yayasan sosial ‘ Hairun Nissa’ miliknya yang didirikan tahun 1968 yang menampung anak-anak tidak mampu dan menyantuni orang-orang jompo.

Rambutnya yang mulai kelabu menandakan kematangan dirinya yang sulit ditemukan dalam diri kebanyakan orang. Garis-garis halus perjalanan hidupnya kini mulai terpahat di wajahnya yang tenang. Ia yang kini berkediaman di Jalan Leuwinanggung 19, Cimanggis, Bogor, Jawa Barat, menjadi panutan para penggemarnya yang tergabung Yayasan Orang Indonesia yang tersebar di seluruh nusantara, dikenal dengan sebutan Oi. Bang Iwan dikenal sebagai orang yang ramah dengan kerendahan hati dan ketenangan jiwanya. Sebagaimana layaknya ia sebagai seorang legenda hidup.

Sosok dan lagu-lagunya kerap kali diidentikkan dengan Bob Dylan, penyanyi balada Amerika yang juga menyuarakan kritik-kritik social. Sosok Bob Dylan merupakan sosok idola bagi Bang Iwan.

Berbagai penghargaan dan prestasi yang telah Bang Iwan raih, tak lantas membuatnya menjadi lupa diri. Di masa mudanya, ia pernah menjadi Juara II Nasional dalam kejuaraan karate. Tak cukup sampai di situ, menjadi pelatih karate di Sekolah Tinggi Publisistik pernah disandangnya. Dan hingga kini ia masih sering menggelar latihan karate di rumahnya. Dengan bersenandung lagu rakyat, gelar sebagai penyanyi solo terbaik, video klip terbaik, dan album terbaik berkali-kali ia dapatkan, diantaranya sebagai berikut.

  1. Juara harapan Lomba Musik Humor (1979).
  2. Juara I Festival Musik Country (1980).
  3. Gold record, lagu Oemar Bakri, PT. Musica Studio’s.
  4. Silver record, penyanyi & pencipta lagu Ethiopia, PT. Musica Studio’s.
  5. Penghargaan prestasi artis HDX 1987 – 1988, pencipta lagu Buku Ini Aku Pinjam.
  6. Penyanyi pujaan, BASF, (1989).
  7. The best selling, album Mata Dewa, BASF, 1988 – 1989.
  8. Penyanyi rekaman pria terbaik, album Anak Wayang, BASF Award XI, 18 April 1996.
  9. Penyanyi solo terbaik Country/Balada, Anugrah Musik Indonesia – 1999.
  10. Presents This Certificate To Iwan Fals In Recognition Of The Contribution To Cultural Exchange Between Korea and Indonesia, 25 September 1999.
  11. Penyanyi solo terbaik Country/Balada AMI Sharp Award (2000).
  12. Video klip terbaik lagu Entah, Video Musik Indonesia periode VIII – 2000/2001.
  13. Triple Platinum Award, Album Best Of The Best Iwan Fals, PT. Musica Studio’s – Juni 2002.
  14. 6th AMI Sharp Award, album terbaik Country/Balada.
  15. 6th AMI Sharp Award, artis solo/duo/grup terbaik Country/Balada.
  16. Pemenang video klip terbaik edisi – Juli 2002, lagu Kupu-Kupu Hitam Putih, Video Musik Indonesia, periode I– 2002/2003.
  17. Penghargaan album In Collaboration with, angka penjualan diatas 150.000 unit, PT. Musica Studio’s - Juni 2003.
  18. Triple Platinum Award, album In Collaboration with, angka penjualan diatas 450.000 unit, PT. Musica Studio’s – November 2003.
  19. 7th AMI Award 2003, Legend Awards.
  20. 7th AMI Award 2003, Penyanyi Solo Pria Pop Terbaik.
  21. Penghargaan MTV Indonesia 2003, Most Favourite Male.
  22. SCTV Music Award 2004, album Ngetop! (pop) In Collaboration with.
  23. SCTV Music Award 2004, Penyanyi Pop Ngetop.
  24. Anugrah Planet Muzik 2004.
  25. Generasi Biang Extra Joss – 2004.
  26. 8th AMI Samsung Award, Karya Produksi Balada Terbaik.
  27. SCTV Music Award 2005, album pop solo ngetop Iwan Fals In Love.
  28. With The Compliment Of Metro TV.
  29. Partisipasi dalam acara konser Salam Lebaran 2005, PT. Gudang Garam Indonesia.

Selain itu, sosok Iwan Fals, penyanyi yang biasa menyuarakan kritik-kritik sosial pernah dinobatkan sebagai salah satu Asian Heroes yang disejajarkan dengan legenda hidup Asia lainnya. Namun, julukan sebagai Pahlawan Asia yang didapatkannya justru membuatnya untuk bersikap lebih hati-hati. Sempat terucap dari mulutnya kepada seorang wartawan, “Aku kepikiran terus, mudah-mudahanan aku nggak terpeleset karena julukan itu. Tapi sumpah, aku nggak berpikiran seperti itu.”

“Peka terhadap alam, peduli terhadap beban yang ditanggung sesama insan adalah sebuah keniscayaan. Memberi apa yang kita bisa dan apa yang kita miliki adalah esensi dari kebersamaan kemanusiaan. Sesungguhnya kita hidup bukanlah untuk memiliki, tetapi untuk menjadi. Benar apa yang dikatakan orang-orang suci, memberi itu terangkan hati. Seperti matahari yang menyinari bumi", itulah kata-kata yang pernah terucapkan dari bibir Bang Iwan. Saat menanggapi pesan dari seorang penggemarnya yang membicarakan kenaikan BBM di negeri ini, ia membalasnya dengan kata-katanya yang sungguh bijaksana. “Bertahan hidup harus bisa bersikap lembut walau hati panas bahkan terbakar sekalipun.” Itulah perkataan bijak dari Bang Iwan.

Menjadikan sosok Iwan Fals sebagai tokoh idola bukanlah suatu pertimbangan akan ketampanan parasnya, kemerduan suara dengan lirik romantis, kemewahan harta dan penampilannya, atau kebohongan publik yang diciptakan layaknya kampanye seorang calon pemimpin. Ketampanan dalam diri seorang Iwan Fals terlahir dari seruan hatinya yang tulus menyuarakan kemelut dunia gelap negeri ini dan saudaranya. Yang ia suarakan bukan suatu tuntutan maupun strategi demi dukungan kuat untuk menopang namanya dengan kebohongan publik yang tak disadari. Lagu yang ia bawakan bukan lagu cinta dengan keromantisan liriknya yang cengeng. Akan tetapi, cinta yang jujur, cinta orang-orang marjinal, kesederhanaan lirik yang lugas dan gamblang yang ia senandungkan dengan lantang. Ia menyanyi dengan suara hati. Menyuarakan penderitaan golongan bawah dan kemelut yang terjadi dalam negeri dengan jujur dari hatinya tanpa harus ditutup-tutupi oleh manisnya lidah yang bersilat di depan piblik. Kejujuran, terungkap dalam sikap kesehariannya maupun lirik-lirik lagunya. Dan kejujuran ini yang justru menjadi kekuatan dari lirik-lirik lagu Iwan Fals. Kharismatik, di balik sikap yang apa adanya, Iwan Fals mempunyai kharisma yang membuat orang segan dan menghormatinya. Meskipun berselimut harta dunia, tetapi kesederharnaan hidupnya memantulkan kerendahan hatinya. Itulah sosok idola sesungguhnya.